Mars: KAMI PEMUDA PEMBELA AGAMA... PEMBANGKIT UMAT YANG UTAMA... BERTABLIG MEMIKAT HATI YANG SUCI... BERDALILKAN QURAN DAN HADIS... DITANAM IMAN DISEBAR AMAL... MEMIMPIN JIWA DAN AKHLAKNYA... MEMBASMI BID'AH AGAMA... BERDAKWAH, BERKHUTBAH, BERJIHAD... Reff:: BERSATULAH...BERSATULAH...BERSATULAH... HAI MUSLIMIN... SIAPA YANG MENENTANG ISLAM...MUSNAHLAH DALIL DAN HUJJAHNYA

February 18, 2010

Hukum Mayoritas dalam Pandangan Seorang "Syi'i"


Seseorang yang mengikuti "mayoritas" dicap sebagai sesat. Dalam pandangan seorang Sunni 'awam, kadangkala skala mayoritas menjadi ukuran sebuah kebenaran menurut kacamata internal umat Islam. Sedangkan bagi seorang Syi'i, isyarat ini akan segera dilabelkan pada diri kaum Sunni sebagai pihak majority yang "sesat" saat ini. Landasan pemikiran label "mayoritas" ini kemudian disandarkan pada ayat Alloh SWT dalam QS al-An'am ayat 116. Terjadilah dialog antara Sunni - Syi'i.

Kami pun merasa tergugah untuk mencoba berusaha menelusuri titik terang pandangan-pandangan itu. Di sinilah perlu kami kutip obrolan dunia maya tersebut.

Benarkah Mayoritas itu Pasti Benar?
Oleh: Yasser Arafat (Tegal)

Baru-baru ini aku berdialog di facebook dengan salah seorang teman. Dialog itu berawal saat seorang teman bertanya tentang sunni syiah. “Bukankah sunni dan syiah itu berbeda aqidah?” tanyanya.

Diskusi pun berjalan tidak seperti yang saya inginkan. Karena aku berharap dalam diskusi itu, masing-masing pihak mengajukan argumen dengan Al-Qur’an dan hadits, tetapi faktanya, lawan diskusiku tidak satupun mengutip ayat Al-Qur’an dan hadits sebagai landasan argumennya. Ia hanya berbicara soal kesesatan syiah, bahwa saya harus belajar dari ulama sunni, yang semuanya saya pikir lebih mengarah pada argumen ngawur.

Sampai pada akhirnya dia mengatakan bahwa jika Syiah itu benar, tentunya mayoritas umat Islam memeluk mazhab Syiah donk. Tetapi pada faktanya, jumlah umat Sunni lebih banyak, maka itulah yang benar.

Menurutku, dia telah terjebak pada pola pikir yang salah. Menganggap bahwa pihak yang benar itu adalah pihak yang memiliki jumlah massa yang banyak. Hampir mirip-mirip ama paham demokrasi. Yang paling banyak mendapatkan suara, itulah yang dianggap pantas untuk memimpin suatu komunitas, kelompok, atau negara.

Pola pikir seperti itu, tidaklah sesuai dengan Al-Qur’an. Karena pada faktanya, Al-Qur’an mengatakan bahwa hanya sedikit saja orang yang benar.

“…Sesungguhnya (Al Qur’an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman.” (QS Huud ayat 17)

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke luar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka: “Matilah kamu”, kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur. (QS Al-Baqarah 243)

“Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kamu tetapi kebanyakan di antara kamu benci pada kebenaran itu.” (QS Az-Zukhruf 78)

Jadi, mayoritas itu belum tentu benar. Bahkan menurut Al-Qur’an, hanya sedikit saja orang yang beriman, bersyukur, dan cinta terhadap kebenaran.

Komentar Don Koping

Kebenaran mutlak hanyalah milik Allah, pendapat mayoritas belum tentu benar, bisa jadi hanya karena ikut-ikutan pada pendapat orang yang dipuja.

Jawab:

Bisa jadi yang mayoritas itu membawa kita pada kehancuran.

Komentar Nugi

YANG BENAR YANG MAYORITAS? YANG BENAR AJA….

Telah menjadi sunnatullah kalau kebanyakan manusia merupakan para penentang kebenaran. Yang menakjubkan adalah ketika kebenaran kemudian diukur dengan suara mayoritas. “Kamu itu salah, karena berbeda dengan mayoritas masyarakat di sini. Kalaulah yang kamu yakini itu benar, pasti diikuti oleh banyak orang. Masyarakat di Indonesia, bahkan di dunia, tidak biasa dengan yang seperti itu, kan? Karena ajaran itu SESAT dan MENYESATKAN”. Demikian barangkali sekelumit fenomena yang terjadi di masyarakat kita, yang juga menjadi pemikiran dan keyakinan dari sebagian orang.

Mirip dengan demokrasi, hukum mayoritas rupanya memiliki peran penting dalam menilai kebenaran suatu ajaran dan dakwah. Jumlah mayoritas benar-benar menjadi tolok ukur bagi suatu kebenaran, dan suara terbanyak merupakan keputusan yang harus diikuti, walaupun bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAWW. Padahal setiap insan beriman pasti yakin bahwa kebenaran itu adalah segala hal yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman (artinya): “Kebenaran itu berasal dari Rabb-mu, maka jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (Al Baqarah: 147)
“Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran, sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.” (Al Baqarah: 119)

Oleh karena itu, ketika terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat, Allah perintahkan kita semua untuk kembali kepada keduanya. Allah berfirman (artinya): “Jika kalian berbeda pendapat tentang suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (As Sunnah).” (An Nisaa’: 59).

Betapa besar pengaruh hukum mayoritas ini dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Sejauh mana keabsahannya menurut kacamata Islam, agar kita bisa menempatkannya sesuai dengan tempat dan porsinya? Baiklah, mari kita melanjutkan analisis ayat2 Al-Qur’an yang berhubungan dengan hal itu.

Pengusung hukum mayoritas adalah oknum manusia, yang Allah sifati di dalam Al Qur’an dengan amat zhalim dan amat bodoh. Allah berfirman (artinya): “Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.” (Al Ahzab: 72).

1. Tidak beriman.
Allah berfirman (artinya): “Sesungguhnya (Al Qur’an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi mayoritas manusia tidak beriman”. (Huud: 17).

2. Tidak bersyukur
Allah berfirman (artinya): “Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi mayoritas manusia tidak bersyukur”. (Al Baqarah: 243).

3. Membenci kebenaran
Allah berfirman (artinya): “Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kalian, tetapi mayoritas dari kalian membenci kebenaran itu”. (Az Zukhruf: 78)

4. Fasiq
Allah berfirman (artinya): “Dan sesungguhnya mayoritas manusia adalah orang-orang yang fasiq”. (Al Maidah: 49).

5. Lalai dari Ayat2 Allah
Allah berfirman (artinya): “Dan sesungguhnya mayoritas dari manusia benar-benar lalai dari ayat-ayat Kami.” (Yunus: 92).

6. Menyesatkan
Allah berfirman (artinya): “Dan sesungguhnya mayoritas (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa ilmu”. (Al An’aam: 119).

7. Tidak mengetahui
Allah berfirman (artinya): “Itulah agama yang lurus, tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui”. (Yusuf: 40).

8. Hanya mengikuti persangkaan
Allah berfirman (artinya): “Mereka (mayoritas manusia) tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”. (Al An’aam: 116).

9. Penghuni jahannam
Allah berfirman (artinya): “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi Jahannam mayoritas dari jin dan manusia”. (Al A’raaf: 179).
Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menggolongkan hukum mayoritas ke dalam prinsip yang dipegangi oleh orang-orang jahiliyyah, bahkan termasuk prinsip terbesar yang mereka punyai. Beliau berkata: “Sesungguhnya di antara prinsip terbesar mereka adalah berpegang dan terbuai dengan jumlah mayoritas, mereka menilai suatu kebenaran dengannya (jumlah mayoritas) dan menilai suatu kebatilan dengan kelangkaannya dan dengan sedikitnya orang yang melakukan”. (Kitab Masail Al Jahiliyyah, masalah ke-5).
Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan berkata : “Di antara karakter jahiliyyah adalah bahwasanya mereka menilai suatu kebenaran dengan jumlah mayoritas, dan menilai suatu kesalahan dengan jumlah minoritas, sehingga sesuatu yang diikuti oleh kebanyakan orang berarti benar, sedangkan yang diikuti oleh segelintir orang berarti salah. Inilah patokan yang ada pada diri mereka di dalam menilai yang benar dan yang salah. Padahal patokan ini tidak benar, karena Allah berfirman (artinya): “Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah SWT).” (Al An’aam: 116).
Dia juga berfirman : “Tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.” (Al A’raaf: 187).
“Dan Kami tidak mendapati mayoritas mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati mayoritas mereka orang-orang yang fasik.” (Al A’raaf: 102).
Jika demikian hakekat permasalahannya, maka betapa ironisnya ketika hukum mayoritas dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran. Suatu keyakinan amalan dinilai salah ketika berbeda apa yang biasa dilakukan oleh kebanyakan orang. Demikian pula seorang da’i yang mempunyai banyak pengikut, ceramahnya diputar di seluruh radio nusantara dan akhirnya bergelar da’i sejuta umat maka dakwahnya pun pasti benar. Sebaliknya jika seorang da’i pengikutnya hanya sedikit, maka dakwahnya pun dicurigai, bahkan terkadang divonis sesat.

Demikianlah jika hukum mayoritas diagungkan. Padahal Allah telah berfirman tentang nabi Nuh AS (yang artinya): “Dan tidaklah beriman bersamanya (Nuh) kecuali sedikit.” (Huud: 40).
Rasulullah SAWW bersabda :
عُرِضَتْ عَلَيَّ اْلأُمَمُ, فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّهْطُ,وَالنَّبِيَّ وَمعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ, وَالنَّبِيَّ وَلَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ …
“Telah ditampakkan kepadaku umat-umat, maka aku melihat seorang nabi bersamanya kurang dari 10 orang, seorang nabi bersamanya satu atau dua orang, dan seorang nabi tidak ada seorang pun yang bersamanya….” (HR. Al Bukhari no: 5705, 5752, dan Muslim no: 220, dari hadits Abdullah bin Abbas)

Asy Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alus Syaikh berkata: “Dalam hadits ini terdapat bantahan bagi orang yang berdalih dengan hukum mayoritas, dan beranggapan bahwa kebenaran itu selalu bersama mereka. Tidaklah demikian adanya, bahkan yang semestinya adalah mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah bersama siapa saja dan di mana saja.” (Taisir Al ‘Azizil Hamid, hal.106).

Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan berkata: “Maka tolok ukurnya bukanlah banyaknya pengikut suatu madzhab atau perkataan, namun tolok ukurnya adalah benar ataukah bathil. Selama ia benar walaupun yang mengikutinya hanya sedikit atau bahkan tidak ada yang mengikutinya, maka itulah yang harus dipegang (diikuti), karena ia adalah keselamatan. Dan selamanya sesuatu yang batil tidaklah terdukung (menjadi benar-pen) dikarenakan banyaknya orang yang mengikutinya. Inilah tolok ukur yang harus selalu dipegangi oleh setiap muslim”. Beliau juga berkata: “Maka tolok ukurnya bukanlah banyak (mayoritas) atau pun sedikit (minoritas), bahkan tolok ukurnya adalah al haq (kebenaran). Barangsiapa di atas kebenaran -walaupun sendirian- maka ia benar dan wajib diikuti, dan jika mayoritas (manusia) berada di atas kebatilan, maka wajib ditolak dan tidak boleh tertipu dengannya. Jadi, tolok ukurnya adalah kebenaran, oleh karena itu para ulama berkata: “Kebenaran tidaklah dinilai dengan orang, namun oranglah yang dinilai dengan kebenaran. Barangsiapa di atas kebenaran maka ia wajib diikuti.” (Syarh Masail Al Jahiliyyah, hal.61).

Asy Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alus Syaikh berkata: “Hendaknya seorang muslim berhati-hati agar tidak tertipu dengan jumlah mayoritas, karena telah banyak orang-orang yang tertipu (dengannya), bahkan orang-orang yang mengaku berilmu sekalipun. Mereka berkeyakinan di dalam beragama sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang bodoh lagi sesat (mengikuti mayoritas manusia dalam beragama -pen) dan tidak mau melihat kepada apa yang dikatakan oleh Allah dan Rasul-Nya.” (Qurrotu Uyunil Muwahhidin, dinukil dari ta’liq Kitab Fathul Majid, hal. 83, no. 1).
Bagaimanakah jika mayoritas manusia berada di atas kebenaran? Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan berkata: “Ya, jika mayoritas manusia berada di atas kebenaran, maka ini sesuatu yang baik. Akan tetapi sunnatulloh menunjukkan bahwa mayoritas (manusia) berada di atas kebathilan. Allah berfirman (artinya): “Dan mayoritas manusia tidak akan beriman, walaupun kamu (Muhammad) sangat menginginkannya.” (Yusuf: 103).
“Dan jika engkau menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah”. (Al An’aam: 116)”. (Syarh Masail Al Jahiliyyah, hal.62).

Dari uraian yang panjang ini, mudah2an orang2 yang berpikir/berkeyakinan seperti kawanmu itu, bisa berpikir ulang bahwa ternyata hukum mayoritas bukan dari syari’at Islam bahkan termasuk prinsip jahiliyyah. Oleh karena itu, ia tidak bisa dijadikan tolok ukur kebenaran suatu dakwah, manhaj, dan perkataan. Tolok ukur yang hakiki adalah kebenaran yang dibangun di atas Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman As Salafus Shalih, walaupun yang mengikutinya hanya sedikit atau bahkan tidak ada yang mengikutinya.
(diramu dan disajikan sedemikian rupa dari orang2 shalih oleh mantan gurumu di Bandung)

Jawab:

Kalau boleh tau, ini pak nugi guru SMA ku dulu?

Komentar Aryo

setuju bro,ga semua mayoritas itu benar.logika juga bisa berpikiran gitu,cz lihat aja fakta realnya.jika 1 orang baik mengajak kita ke jalan yang benar belum tentu mereka akan percaya,layaknya perjuang Rasulullah untuk menegakkan panji kebenaran dan menyebarkan islam.betapa sulit mengubah pola pikir umat manusia yang sudah tenggelam dalam kesalahan. pak nugi mantan guru,aku ingat kok.pak nugi itu murah senyum.

Jawab:

istiqamah dan santun saja…

Komentar Mursid

wogh..komentar nduwur kuwi dowo tenan..malah dadi postingan..
apik..apik..hehe

Jawab:

hehehehe…aku juga tau itu sebetulnya diambil dari website mana…karena minggu kemarin dah pernah baca website yang memuat tulisan itu…

Komentar Arif

benar2 politik umayyah,yg blg mayoritas itu benar..


Komentar Pemuda Persis Kab. Bandung

HUKUM MAYORITAS, TOLOK UKURNYA…???

“Dan jika engkau menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah”. (Al An’aam: 116)”

Berdasarkan ayat di atas, memang benar, bahwa mengikuti ‘mayoritas’ merupakan peluang besar terjadinya kesesatan. Namun, apakah ayat ini sedang berbicara “Sunni yang mayoritas” dan “Syiah yang minoritas”? Atau sebaliknya “Syiah yang mayoritas” dan “Sunni yang minoritas”? Bisa benar, bisa salah.

Barangkali kita perlu mengingat, Rasulullah Saww pernah menyampaikan, “Ummatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Semuanya akan ada di neraka, kecuali satu golongan”. Para sahabat bertanya, “Siapakah gerangan, ya Rasulullah?”. Jawabnya, “Al-Jama’ah”. (HR Al-Hakim)

Berdasar pada hadis di atas, kita juga perlu berhati-hati, sebab 73 golongan yang disitir dalam riwayat tersebut ternyata tidak seperti yang kita bayangkan atau yang hadir secara nampak di depan realitas hidup kita. Yang nampak di depan kita, berdasarkan beberapa penelitian, umat Rasul Saww secara garis besar hingga kini terbagi dua kafilah; Sunni – Syi’ah, karena Khawarij tidak jelas lagi juntrungannya. Kaum Sunni terbagi-bagi lagi menjadi (mungkin) lebih dari 100 aliran. Demikian juga kaum Syi’ah.

Besar kemungkinan, dalam riwayat tadi, yang diinginkan oleh Rasulullah Saww bukan terletak pada jumlah yang sesat. Tetapi lebih mendorong kita agar berupaya selamat dari kesesatan melalui komitmen kita pada “Al-Jamaah”. Dalam ungkapan Ibnu Mas’ud ra, al-jama’ah adalah “Maa kaana ‘ala al-haq wa lau kaana waahidan”.

Nah, kembali ke ayat tadi, akan lebih tepat jika kita pandang secara global karena “wajhu al-istidlal” yang digunakan dalam ayat itu adalah “katsir min an-naas” (manusia secara keseluruhan).

Mari kita perhatikan dasar-dasar pijakannya:

1. Kategori Manusia; Mu’min, Kafir, Munafik

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

الم
Alif laam miin.
ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ
Kitab (Al Quraan) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
والَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ وَبِالآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
أُوْلَـئِكَ عَلَى هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُونَ
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.
خَتَمَ اللّهُ عَلَى قُلُوبِهمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ عظِيمٌ
Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ
Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian,” pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.

2. Kategori Orang yang menyatakan diri mu’min (muslim): Selamat, Sesat

Dasarnya adalah riwayat al-Hakim di atas.
Dengan dua hal ini, kita dapat mengurai, bahwa secara umum umat Rasulullah Saww terdiri dari 3 kelompok besar (Mu’min, Kafir, Munafik) yang secara hakiki hanya Alloh SWT yang Maha Mengetahui. Kita hanya dapat mengetahui yang nampak saja, misalnya seseorang yang terus terang menegaskan kekafirannya.

Selain itu, secara khusus, orang-orang yang menyatakan diri sebagai pengikut Rasul Saww yang setia terbagi menjadi 73 golongan. Semuanya sesat, kecuali satu.

Nah, berdasar uraian ini, jelas, mayoritas adalah kesesatan dan kekafiran. Yang benar-benar selamat hanya sedikit sesuai dengan isyarat ayat-ayat Alloh SWT. Kita hanya berupaya semaksimal mungkin. Keputusan akhir ada di tangan Allah SWT. Kita hanya berusaha melalui do’a, “Robbi, ihdinii lima ukhtulifa fiihi min al-haq bi idznika, innaka tahdii man tasya ilaa shirotim mustaqiim”. (Bidang Humas dan Publikasi PD Pemuda Persis Kab. Bandung)

No comments:

Post a Comment

Text Widget

Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket

Selayang Pandang Kab. Bandung

Selayang Pandang Kab. Bandung
Kabupaten Bandung, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Ibukotanya adalah Soreang. Secara geografis berada pada 6°,41’ – 7°,19’ Lintang Selatan dan di antara107°22’ – 108°5’ Bujur Timur dengan luas wilayah 176.239 ha. Batas Utara Kabupaten Bandung Barat; Sebelah Timur Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut; Sebelah Selatan Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur sebelah Barat Kabupaten Bandung Barat; di bagian Tengah Kota Bandung dan Kota Cimahi. Kabupaten Bandung terdiri atas 31 kecamatan, 299 Desa dan 9 Kelurahan. Dengan jumlah penduduk sebesar 2.943.283 jiwa (Hasil Analisis 2006) dengan mata pencaharian yaitu disektor industri, pertanian, pertambangan, perdagangan dan jasa.

Popular Posts