Mars: KAMI PEMUDA PEMBELA AGAMA... PEMBANGKIT UMAT YANG UTAMA... BERTABLIG MEMIKAT HATI YANG SUCI... BERDALILKAN QURAN DAN HADIS... DITANAM IMAN DISEBAR AMAL... MEMIMPIN JIWA DAN AKHLAKNYA... MEMBASMI BID'AH AGAMA... BERDAKWAH, BERKHUTBAH, BERJIHAD... Reff:: BERSATULAH...BERSATULAH...BERSATULAH... HAI MUSLIMIN... SIAPA YANG MENENTANG ISLAM...MUSNAHLAH DALIL DAN HUJJAHNYA

April 25, 2010

SOAL KEDHAIFAN IBN AQIL; SEBUAH TANGGAPAN


Jazakumullah Khairan Katsiran atas tanggapan Ust. Abu Nabhan (PD. Pemuda Persis Kab. Bandung). Kami menerima baik atas tanggapan yang sarat ilmu tersebut. Mudah-mudahan diskusi ini menjadi shock therapy bagi daya kritis umat Persis yang mulai “krisis”. Wabil khusus, semoga diskusi ini menjadi amal shaleh dalam upaya mengembalikan “Mutiara Yang Hilang” yakni ghirah pengembangan ilmu hadis. Dan secara lebih spesifik diharapkan menjadi bahan pemikiran bagi Asatidzah di Pesantren Persatuan Islam, yang kian hari kian dituntut untuk senatiasa meningkatkan validitas hasil-hasil kajiannya.

Sebelum memberikan tangggapan balik kepada Ust. Abu Nabhan, terlebih dahulu kami akan mengemukakan standarisasi dan manhaj kami dalam menentukan kedudukan seorang rawi.

STANDARISASI PENILAIAN RAWI
Dalam meneliti perawi hadis, kami telah memaksimalkan usaha untuk mengikuti manhaj para ulama. Terbukti, ketika menyajikan penilaian terhadap rawi dalam makalah kami, hal itu merupakan hasil dari proses Study Komparatif antara Mu’addilun Versus Mujarrihun.

Misalnya, ketika menjarh Muhammad bin Ishaq, kami hanya menyebutkan bahwa beliau Mudallis. Padahal, Imam Ahmad menjarhnya dengan jarh yang keras: Dajjalun Minad Dajjalaah (ia salah-satu Dajjal). Kami tidak mengambil jarah Imam Ahmad, karena antara Imam Ahmad dan Muhammad bin Ishaq pernah terjadi “konflik”. Para ulama pun sepakat bahwa jarhnya Imam Ahmad kepada Muhammad bin Ishaq tidak diterima. Hal ini sebagaimana terjadi pada jarhnya Imam an-Nasa’i terhadap Ahmad bin Shalih al-Mishriy, jarhnya Sufyan at-Tsauriy kepada Abu Hanifah, jarhnya Ibnu Ma’in kepada as-Syafi’i, dan jarhnya Muhammad ad-Dzuhliy kepada Imam al-Bukhari, dll.
Study Komparatif ini kami lakukan karena dilatarbelakangi oleh:
a. Tidak setiap jarh itu diterima, misalnya karena:
1. Antara Jaarih dan Majruuh pernah terjadi “Konflik”
2. Jarah Aqron
3. Si Jaarih-nya sendiri Majruuh.

b. Realitas menyatakan bahwa di antara para imam ahli naqd, terbagi kepada 3 (tiga):
1. Haadun fil Jarhi/mutasaddid fil Tausiq (berlebihan dalam menjarh/ketat (punya standar tinggi dalam menjarh)
2. Mu'addil (moderat)
3. Mutasahhil fit Tausiq (longgar/ punya standar tinggi dalam pentsiqatan)

c. Keadaan lapadz jarh, seperti:
1. Ada jarh yang mujmal
2. Ada jarh yang mufasshal/tafshiil


MASALAH ABDULLAH BIN MUHAMMAD BIN AQIL
Ketika menilai Abdullah bin Muhammad bin Aqil, kami dihadapkan kepada 2 berita mengenai beliau: [1] Berita yang menta’dil, [2] Berita yang menjarh

Berita yang menta’dil
Berita ta’dil ini kami “terima” dari al-Bukhari dan al-Ijliy. Al-Bukhari berkata, “Muqqaribul hadis”. Al-Ijliy berkata, “Madaniy Tabi’iy tsiqatun Jaaizul hadis”.

Berita yang menjarh
Berita jarh ini kami terima dari lebih 16 Imam ahli Naqd. Ada yang Mujmal ada yang Mufasshal. Di antara yang Mufasshal adalah berita yang kami “terima” dari:
1. Ibnu Khuzaimah : La Ahtajju bihi Lisuui khifdzihi (aku tidak berhujjah dengannya karena jelek hapalannya)
2. Abu Ma’mar : Kaana Ibnu Uyainah La yahmadu hifdzihi.
3. Ibnu Sa’ad : Kaana Munkarul hadis, la yahtaajuuna bihaditsihi wakaana katsirul ilmiy
4. Imam Ahmad : Kaana Munkarul hadis.

MANHAJ KAMI
Dalam menyikapi kedua berita di atas (berita ta’dil, berita jarah), kami mengikuti manhaj para ulama, yakni:



اَلْجَرْحُ مُقَدَّمٌ عَلَى التَّعْدِيْلِ إذَا كَانَ مُبَيَّنُ السَّبَبِ

“Berita jarh didahulukan dari berita ta’dil bila dijelaskan sebabnya”


KESIMPULAN:
Berpijak pada manhaj para ulama, kami berkesimpulan bahwa Abdullah bin Muhammad bin Aqil adalah rawi dhaif.

KAJIAN KHUSUS
1) Istilah Munkarul Hadis
Istilah Munkarul Hadis digunakan oleh hampir seluruh ahli Naqd. Imam al-Iraqi dan ad-Dzahabi menempatkannya pada lapadz jarh martabat ke IV. Sedangkan as-Syakhawiy menempatkannya pada derajat ke V. Begitupun an-Naaqid abad-abad sebelumnya, seperti Imam Ahmad, al-Bukhari, dll.
Istilah Munkarul Hadis ini memiliki dua makna:
1. Makna Umum
Munkarul hadis ialah sifat bagi seorang rawi yang mesti ditinggalkan hadisnya. Atau menurut Imamm al-Bukhari adalah rawi yang tidak halal meriwayatkan darinya.
2. Makna Khusus
Munkarul hadis secara khusus digunakan oleh Imam Ahmad dan yang lainnya ditujukan kepada rawi yang tsiqah, dengan arti:
a. Apabila periwayatan seorang rawi yang tsiqah tidak mukhalafah dengan periwayatan rawi lain yang Autsaq, maka ungkapan itu menunjukkan tafarrud (rawi tersebut sendirian dalam meriwayatakan hadis)
b. Apabila periwayatan rawi yang tsiqah itu mukhalafah dengan periwayatan rawi yang Autsaq, maka ungkapan ini menunjukkan bahwa rawi tersebut Mukhalafah dengan periwayatan rawi yang Autsaq. Jadi rawi tersebut dikritik bukan dilihat dari aspek kepribadiannya, namun dari segi periwayatannya yang mukhalafah dengan rawi lain yang Autsaq.
Pertanyaan: Apa Maksud Munkarul Hadis Imam Ahmad dan Ibnu Sa’ad pada Abdullah bin Muhammad bin Aqil? Makna Umum atau Makna Khusus?

2) Istilah Sayyiul Khifdzi
Istilah Sayyiul Khifdzi ialah rawi yang lebih kuat segi salahnya dibanding segi benarnya. Sayyiul Khifdzi ada 2 macam:
a. Sayyiul khifdzinya itu ia derita semenjak lahir. Hadis rawi seperti ini dinamai Hadis Syadz (menurut sebagian ulama). Hukum hadisnya Mardud (tertolak)
b. Sayyiul khifdzinya itu ia derita kemudian, baik karena pikun, karena kebutaan, atau karena terbakar kitab-kitabnya. Hadis yang seperti ini dinamai Hadis Mukhtalat. Hukum hadisnya:
1. Maqbul (diterima), bila ia meriwayatkanya sebelum ikhtilat.
2. Mardud (tertolak), bila ia meriwayatkan sesudah ikhtilat
3. Tawaquf (ditangguhkan), bila tidak diketahui apakah dia meriwayatkannya setelah ikhtilat/sebelum ikhtilat.

3) Istilah Shaduq
Istilah Shaduq juga digunakan oleh hampir seluruh ahli Naqd. Istilah Shaduq ini adalah istilah untuk men-ta’dil (menilai baik) seorang rawi, lebih khusus men-ta’dil segi ‘adalah-nya. Dengan kata lain lafadz Shaduq hanya menta’dil dimensi ‘adalah (kepribadian seorang rawi) tanpa disertai dimensi dhabt-nya (intelektualnya). Tidak seperti istilah Tsiqat ia menta’dil dimensi ‘adalah dan dhabt.

Oleh karena itu lapadz Shaduq sering digandengkan dengan istilah yang mengggambarkan kecacatan pada dhabt-nya. Seperti Ibnu Hajar sering mengungkapkan istilah:



صدوق سيئ الحفظ " أو " صدوق يهم " أو " له أوهام " أو " يخطئ " أو " تغير بأخرة "،


Ibnu Hajar ketika menilai rawi Muhammad bin Abdillah bin Aqil beliau berkata:


صدوق في حديثه لين ويقال تغير بأخرة ( تقريب التهذيب 1: (321


“Ia Shaduq. Dalam hadisnya ada Liinun". Ada yang berkata, "Ia berubah ingatannya di akhir hidupnya (pikun)”.
Hemat kami, yang mengatakan bahwa dia itu berubah ingatan di akhir hidupnya adalah Sufyan bin Uyainah:



عن علي بن المديني قال سفيان بن عيينة رأيته يحدث نفسه فحملته على أنه قد تغير


Dari Ali al-Madiniy ia (berkata), Sufyan bin Uyainah berkata: “Aku melihatnya (Abdullah bin Muhammad bin Aqil) berbicara sendiri, aku berkesimpulan bahwa dia telah tagayyara (pikun)".


STUDI KOMPARATIF
Antara lapadz Shaduq Ibnu Hajar dan lapadz Sayyiul khifdzi Ibnu Huzaimah tidaklah bertentangan. Malah satu sama lainnya saling menjelaskan. Seperti dikatakan di atas, lapadz shaduq hanya menta’dil dimensi ‘adalah (keperibadian seorang rawi) tanpa disertai dimensi dhabt-nya (intelektualnya). Dengan demikian dari kedua komentar itu bisa diambil kesimpulan bahwa Abdullah bin Muhammad Aqil adalah Shaduq dari dimensi kepribadiannya (‘adalahnya), tetapi Sayyiul khifdzi intelektualnya (dhabt-nya). Sayyiul khifdzi-nya ia derita kemudian, yakni di akhir usianya (pikun). Kesimpulan ini diambil berdasarkan ucapan Sufyan bin Uyainah di atas. Dan hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan pentsiqatan al-Ijliy. Dengan kata lain, pada asalnya Abdullah bin Muhammad bin Aqil adalah rawi yang tsiqat, namun setelah menjelang tua ia mengalami Ikhtilath.
Pertanyaan: Apakah hadis ini diriwayatkan olehnya setelah atau sebelum ikhtilath?
Wallahu ‘alam bis Shawab

Usman Burhanuddin
(MAJMUAH, Majlis Mudzakarah-Lembang)
Lembang, Sabtu, 24-04-2010


No comments:

Post a Comment

Text Widget

Photobucket Photobucket Photobucket Photobucket

Selayang Pandang Kab. Bandung

Selayang Pandang Kab. Bandung
Kabupaten Bandung, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Ibukotanya adalah Soreang. Secara geografis berada pada 6°,41’ – 7°,19’ Lintang Selatan dan di antara107°22’ – 108°5’ Bujur Timur dengan luas wilayah 176.239 ha. Batas Utara Kabupaten Bandung Barat; Sebelah Timur Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut; Sebelah Selatan Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur sebelah Barat Kabupaten Bandung Barat; di bagian Tengah Kota Bandung dan Kota Cimahi. Kabupaten Bandung terdiri atas 31 kecamatan, 299 Desa dan 9 Kelurahan. Dengan jumlah penduduk sebesar 2.943.283 jiwa (Hasil Analisis 2006) dengan mata pencaharian yaitu disektor industri, pertanian, pertambangan, perdagangan dan jasa.

Popular Posts